BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Khalifah Ali bin Abi
Thalib adalah khalifah ke empat setelah wafatnya khalifah Usman bin Affan. Nama
lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Ibnu Hasyim bin
Abdi Manaf. Beliau lahir 32 tahun setelah kelahiran Rasulullah SAW, dan beliau
termasuk anak asuh Nabi Muhammad SAW.
Pada masa sebelum
pengangkatan beliau sebagai Khalifah umat Islam, keadaan waktu itu sangat tidak
stabil, dan beliau menolak untuk di angkat sebagai Khalifah, akan tetapi disaat
yang sama umat Islam sangat membutuhkan sosok seorang pemimpin yang dapat
menggantikan Khalifah Usman bin Affan. Hingga pada akhirnya akibat desakan oleh
masyarakat, beliau pun meneriman pengangkatan itu dan tepat pada tanggal 23
juni 656 masehi, beliau resmi menjadi Khalifah.
Makalah ini akan
membahas bagaimana sosok Khalifah Ali bin Abi Thalib memimpin umat Islam pada
waktu itu, dan bagaimana kebijakan politik beliau dalam keKhalifahan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Biografi
Khalifah Ali bin Abi Thalib
2.
Bagaimana
kebijakan politik Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam pemerintahan?
3.
Bagaimana kebijakan
diplomasi Khalifah Ali bin Abi Thalib?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi
Thalib lahir dari sepasang suami istri Abu Talib bin Abdul-Muthalib bin Hasyim
bin Abdu-Manaf dengan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu-Manaf. Beliau
dilahirkan di Mekah, tepatnya di Ka’bah, Masjidilharam, di kota kelahiran Bani
Hasyim, jum’at 13 Rajab. Beliau merupakan orang pertama yang masuk Islam dari
kalangan anak-anak, ketika itu beliau baru berusia 10 tahun.
Berbadan tambun, kekar
disertai bahu yang bidang, sepasang mata yang
lebar menghiasi wajah yang tidak terlalu putih, dengan janggut dan
cambang yang lebat. Hidung yang mancung serasi dengan sepasang mata yang
menyorot tajam di bawah alis kiri dan kanan.perpaduan kaki dan tangan yang kuat
dan kekar diimbangi sosok yang sedang, tidak terlalu gemuk dengan perut gendut.
Tidak terlalu tinggi beliau, tidak juga terlalu pendek, ditengah-tengah
masyarakat arab waktu itu yang berperawakan tinggi-tinggi. Berjalan cepat dan
agak condong ke depan, mirip-mirip cara sepupunya Muhammad. Beliau memiliki
ketahanan tubuh yang luar biasa hebat, beliau tahan udara panas dan dingin,
malah konon di musim dingin yang begitu luar biasa sampai membuat orang
menggigil kedinginan beliau tahan tidak menggunakan baju dingin.
Ali bin Abi Thalib
mendapat tempat dihati umat bukan saja karena kedekatannya dengan Nabi, dalam
arti hubungan darah dan hubungan keluarga, tetapi juga karena sifat sifat
pribadinya yang simpatik dan sangat khas, yang juga tidak terlepas dari didikan
Nabi. Akhlak Ali, selain sudah menjadi bawaannya, tak lepas dari didikan Nabi:
Murah hati, lapang dada, tidak pendendam, selalu memelihara tali silaturahmi
dan pemaaf. Di medan perang, dalam semua pertempuran Ali yang selalu diserahi
bendera Nabi, karena keberaniannya, dan kekuatan fisik yang melebihi batas
normal kalangan laki laki pada kalangannya. Karena itu juga beliau dijuluki
sebagai “Asadullah”. Singa Allah.
B.
Kebijakan Politik
Langkah pertama yang di
ambil oleh Amirulmukminin adalah mengadakan pembersihan dalam lingkungan
pejabatnya. Untuk menggantikan para
gubernur lama ia mengangkat sepupunya Ubaidillah bin Abbas untuk Yaman
menggantikan Ya’la bin Umayyah. Kedua pergantian diatas dapat dijalankan dengan
mudah oleh Ali, akan tetapi berbeda dengan pergantian untuk calon gubernur
Syam, Sahl bin Hunaif untuk menggantikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang juga
dikenal sebagai seorang negarawan dan politikus ulung. Sesampainya di Tabuk, di
pos perbatasan Suria, ia ditahan oleh pasukan Mu’awiyahdan disuruh kembali.
Agar tidak terjadi perpecahan dalam kesatuan umat, Ali mengutus orang
untuk membawa surat dengan permintaan
agar Mu’awiyah mau berbaiat kepadanya dan dating ke Madinah dengan
sepengetahuan rakyat Syam, tanpa basa basi atau menempuh kompromi politik, misalnya
dengan mengangkatnya sebagai gubernur Syam.
Dalam ajaran agama
Islam, setiap rakyat wajib berbai’at kepada pemimpinnya. Yang dimaksudkan
dengan berbai’at adalah berjanji setia untuk menjalankan dan taat setiap
perintah penguasa selain dalam perkara maksiat. Pengakuan yang dimaksud disini
adalah bai’at kepada pemimpin kaum muslimin yang sah. Dalam hadist mengatakan :
Dari Abdullah bin Umar R.A, ia berkata: “Dahulu kami
berbai’at kepada Rasulullah SAW untuk mendengar atau menerima perintah dan taat
pada pemimpin kaum muslimin. Beliau bersabda pada kami, “Hendaklah engkau taat
semampu engkau.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Alasan Mua’awiyah tidak
mau membai’at Ali adalah karena: pertama tuntutan atas para pembunuh Usman
harus terlebih dahulu ditangkap dan dihukum; kedua tak ada suara bulat dari
kalangan terkemuka Muslimin. Tetapi pada kenyataannya mereka yang tidak
membai’atnya hanya beberapa orang, dan mereka bersikap netral dan tidak
menentang kekhalifahan Ali. Alasan yang dibuat-buat oleh Muawiyah ini menimbulkan
kecurigaan, agar pemberontakan ini tidak meluas, Ali berencana untuk menyerang
Syam terlebih dahulu sebelum terlebih dulu diserang. Menurut Dr. Majid Ali Khan
yang menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Imam Ali itu sudah tepat
sekali. Penolakan berbai’at berarti suatu pemberontakan terbuka terhadap
pemerintahan yang sahdan dia harus bersikap tegas terhadap segala bentuk
pemberontakan di dalam negeri.
Dugaan para pemberontak
bahwa Imam Ali ketika sudah menjadi khalifah, Ali akan membuat semua orang
masuk kedalam dunia zuhud, segala yang mereka peroleh akan diambil kembali,
segala kekayaan yang mereka telah dapat tidak bisa mereka nikmati lagi. Ia akan
membela golongan miskin, segala kemegahan kerajaan dan hidup senang sebagai
orang kaya akan berakhir. Ali akan lebih keras dari Umar. Timbunan emas yang
mereka miliki, gedung-gedung mewah serta tanah yang mereka luas akan diambil
kembali dari mereka dan akan diserahkan ke baitul mal milik Muslimin. Dugaan
mereka yang hanya mengambil kesimpulan dari pidato Ali yang cenderung
menganjurkan kehidupan yang sederhana, serta dilihat dari hidupnya sendiri dan
keluarganya yang telihat sangat sederhana. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan
adalah apakah Ali akan melakukan hal-hal seperti itu, sedangkan Islam sendiri
mengakui hak milik pribadi.
Keterkaitan masalah
diatas pada era modern ini adalah tentang aturan legitimasi. Franck seorang
ahli hubungan internasional mengatakan pada tesisnya bahwa dalam sebuah
komunitas yang diatur oleh aturan, kepatuhan didapatkan-apapun
tingkatannya-setidaknya sebagian oleh persepsi aturan sebagai sah oleh mereka
yang menjadi sasaran aturan. Ia menyajikan teori sebagai teori umum kepatuhan
dimana legitimasi adalah faktor penyebab yang penting. Legitimasi aturan
memberikan daya tarik kepatuhan pada pemerintah yang menjelaskan tingginya
tingkat kepatuhan yang diamati pada hukum internasional.
C.
Kebijakan Diplomasi
Salah satu contoh nyata
tindakan diplomasi khalifah Ali bin Abi Thalib yaitu ketika Thalhah dan Zubair
meminta kepada Ali agar mengangkatnya sebagai gubernur bashrah dan Kufah, Ali
menolak permintaan mereka dengan cara yang sangat halus, dengan alasan bahwa
dia sangat membutuhkan sahabat-sahabat senior untuk tetap tinggal dimadinah,
sehingga dirinya gampang untuk berkonsultasi dan musyawarah tentang
masalah-masalah kenegaraan. Pemikiran Ali hanya terfokus untuk tujuan damai.
Ketika kekuatan-kekuatan yang menginginkan untuk balas dendam terhadap kematian
Usman bergerak menuju Bashrah dengan Aisyah sebagai pemimpin mereka dan semua
orang yang terlibat dalam pembunuhan Usman dibunuh, namun Ali tidak demikian.
Ali berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menghabisi suatu suku
hanya karena alasan, bahwa salah seorang diantara mereka ada yang melakukan
tindakan kriminal.
Untuk menghindari semua
pertumpahan darah yang terjadi selama perang Unta, Ali mengutus seorang sahabat
terkemuka untuk Aisyah. Kemudian utusan tersebut menghadiri pertemuan dengan
Thalhah dan Zubair yang dihadiri oleh Aisyah. Dalam pertemuan tersebut Ali
mengutarakan pendapatnya melalui utusan yang telah ia kirim, bahwa obat yang
paling mujarab untuk menyudahi keributan ini adalah dengan sikap damai dan
solidaritas, dan itu membutuhkan waktu untuk meredam emosi yang sedang
bergejolak, baru setelah semuanya damai, maka kemungkinan untuk melakukan
pengusutan terhadap kaum pemberontak tersebut bisa dilakukan.
Negosiasi yang
dilakukan oleh Ali selalu mengangkat sebuah perdamaian, tindakan Ali ini sesuai
dengan yang dilakukan oleh Rasulullah, Ali memperlakukan siapapun, apapun dia
dengan penuh hormat dan sangat sopan santun. Beberapa tindakan negosiasi yang
dilakukan oleh Ali terhadap Muawiyah selalu dib alas dengan tindakan yang
mengacu pada perang, akan tetapi Ali membantah dengan keras hal tersebut dengan
tidak semena-mena mengambil keputusan yang salah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai seorang anak
didik Rasulullah yang selalu berada disamping beliau, sikap dan moral yang
dimiliki oleh Ali terhadap kaum Muslimin mencerminkan kepribadian yang sesuai
untuk diangkat sebagai Amirulmukminin. Sifatnya yang Murah hati, lapang dada,
tidak pendendam, selalu memelihara tali silaturahmi dan pemaaf, berimbas kepada
kebijakan diplomasi yang beliau buat. Semua kebijakan yang dibuat selalu
berlandakan atas dasar perdamaian, beliau tidak menginginkan adanya pertumpahan
darah diantara kaum muslimin.
Selain itu, menurut
Islam adanya legitimasi kepada pemimpin itu sangat diperlukan dan harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Islam. Hal ini dilakukan untuk lebih
leluasanya seorang pimimpin dalam mengatur pemerintahan negaranya.
Daftar Pustaka
Buku:
Audah, Ali. 2008. Ali bin Abi Talib Sampai kepada Hasan dan
Husain. Jakarta: PT. pustaka Litera AntarNusa.
Carlsnaes, Walter.
Risse, Thomas dan A Simsons, Beth. 2013.
Handbook Hubungan Internasional. Bandung: Penerbit Nusa Media.
Iqbal, Afzal. 2000. Diplomasi ISLAM . Jakarta Timur: Pustaka
Al kautsar.
No comments:
Post a Comment