Sunday 13 March 2016

Sepak Terjang Khalifah Ali bin Abi Thalib

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah khalifah ke empat setelah wafatnya khalifah Usman bin Affan. Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Ibnu Hasyim bin Abdi Manaf. Beliau lahir 32 tahun setelah kelahiran Rasulullah SAW, dan beliau termasuk anak asuh Nabi Muhammad SAW.

Pada masa sebelum pengangkatan beliau sebagai Khalifah umat Islam, keadaan waktu itu sangat tidak stabil, dan beliau menolak untuk di angkat sebagai Khalifah, akan tetapi disaat yang sama umat Islam sangat membutuhkan sosok seorang pemimpin yang dapat menggantikan Khalifah Usman bin Affan. Hingga pada akhirnya akibat desakan oleh masyarakat, beliau pun meneriman pengangkatan itu dan tepat pada tanggal 23 juni 656 masehi, beliau resmi menjadi Khalifah.

Makalah ini akan membahas bagaimana sosok Khalifah Ali bin Abi Thalib memimpin umat Islam pada waktu itu, dan bagaimana kebijakan politik beliau dalam keKhalifahan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib
2.      Bagaimana kebijakan politik Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam pemerintahan?
3.      Bagaimana kebijakan diplomasi Khalifah Ali bin Abi Thalib?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib lahir dari sepasang suami istri Abu Talib bin Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdu-Manaf dengan Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu-Manaf. Beliau dilahirkan di Mekah, tepatnya di Ka’bah, Masjidilharam, di kota kelahiran Bani Hasyim, jum’at 13 Rajab. Beliau merupakan orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, ketika itu beliau baru berusia 10 tahun.

Berbadan tambun, kekar disertai bahu yang bidang, sepasang mata yang  lebar menghiasi wajah yang tidak terlalu putih, dengan janggut dan cambang yang lebat. Hidung yang mancung serasi dengan sepasang mata yang menyorot tajam di bawah alis kiri dan kanan.perpaduan kaki dan tangan yang kuat dan kekar diimbangi sosok yang sedang, tidak terlalu gemuk dengan perut gendut. Tidak terlalu tinggi beliau, tidak juga terlalu pendek, ditengah-tengah masyarakat arab waktu itu yang berperawakan tinggi-tinggi. Berjalan cepat dan agak condong ke depan, mirip-mirip cara sepupunya Muhammad. Beliau memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa hebat, beliau tahan udara panas dan dingin, malah konon di musim dingin yang begitu luar biasa sampai membuat orang menggigil kedinginan beliau tahan tidak menggunakan baju dingin.

Ali bin Abi Thalib mendapat tempat dihati umat bukan saja karena kedekatannya dengan Nabi, dalam arti hubungan darah dan hubungan keluarga, tetapi juga karena sifat sifat pribadinya yang simpatik dan sangat khas, yang juga tidak terlepas dari didikan Nabi. Akhlak Ali, selain sudah menjadi bawaannya, tak lepas dari didikan Nabi: Murah hati, lapang dada, tidak pendendam, selalu memelihara tali silaturahmi dan pemaaf. Di medan perang, dalam semua pertempuran Ali yang selalu diserahi bendera Nabi, karena keberaniannya, dan kekuatan fisik yang melebihi batas normal kalangan laki laki pada kalangannya. Karena itu juga beliau dijuluki sebagai “Asadullah”. Singa Allah.

B.     Kebijakan Politik

Langkah pertama yang di ambil oleh Amirulmukminin adalah mengadakan pembersihan dalam lingkungan pejabatnya. Untuk  menggantikan para gubernur lama ia mengangkat sepupunya Ubaidillah bin Abbas untuk Yaman menggantikan Ya’la bin Umayyah. Kedua pergantian diatas dapat dijalankan dengan mudah oleh Ali, akan tetapi berbeda dengan pergantian untuk calon gubernur Syam, Sahl bin Hunaif untuk menggantikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang juga dikenal sebagai seorang negarawan dan politikus ulung. Sesampainya di Tabuk, di pos perbatasan Suria, ia ditahan oleh pasukan Mu’awiyahdan disuruh kembali. Agar tidak terjadi perpecahan dalam kesatuan umat, Ali mengutus orang untuk  membawa surat dengan permintaan agar Mu’awiyah mau berbaiat kepadanya dan dating ke Madinah dengan sepengetahuan rakyat Syam, tanpa basa basi atau menempuh kompromi politik, misalnya dengan mengangkatnya sebagai gubernur Syam.

Dalam ajaran agama Islam, setiap rakyat wajib berbai’at kepada pemimpinnya. Yang dimaksudkan dengan berbai’at adalah berjanji setia untuk menjalankan dan taat setiap perintah penguasa selain dalam perkara maksiat. Pengakuan yang dimaksud disini adalah bai’at kepada pemimpin kaum muslimin yang sah. Dalam hadist mengatakan :

Dari Abdullah bin Umar R.A, ia berkata: “Dahulu kami berbai’at kepada Rasulullah SAW untuk mendengar atau menerima perintah dan taat pada pemimpin kaum muslimin. Beliau bersabda pada kami, “Hendaklah engkau taat semampu engkau.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Alasan Mua’awiyah tidak mau membai’at Ali adalah karena: pertama tuntutan atas para pembunuh Usman harus terlebih dahulu ditangkap dan dihukum; kedua tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka Muslimin. Tetapi pada kenyataannya mereka yang tidak membai’atnya hanya beberapa orang, dan mereka bersikap netral dan tidak menentang kekhalifahan Ali. Alasan yang dibuat-buat oleh Muawiyah ini menimbulkan kecurigaan, agar pemberontakan ini tidak meluas, Ali berencana untuk menyerang Syam terlebih dahulu sebelum terlebih dulu diserang. Menurut Dr. Majid Ali Khan yang menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Imam Ali itu sudah tepat sekali. Penolakan berbai’at berarti suatu pemberontakan terbuka terhadap pemerintahan yang sahdan dia harus bersikap tegas terhadap segala bentuk pemberontakan di dalam negeri.

Dugaan para pemberontak bahwa Imam Ali ketika sudah menjadi khalifah, Ali akan membuat semua orang masuk kedalam dunia zuhud, segala yang mereka peroleh akan diambil kembali, segala kekayaan yang mereka telah dapat tidak bisa mereka nikmati lagi. Ia akan membela golongan miskin, segala kemegahan kerajaan dan hidup senang sebagai orang kaya akan berakhir. Ali akan lebih keras dari Umar. Timbunan emas yang mereka miliki, gedung-gedung mewah serta tanah yang mereka luas akan diambil kembali dari mereka dan akan diserahkan ke baitul mal milik Muslimin. Dugaan mereka yang hanya mengambil kesimpulan dari pidato Ali yang cenderung menganjurkan kehidupan yang sederhana, serta dilihat dari hidupnya sendiri dan keluarganya yang telihat sangat sederhana. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah Ali akan melakukan hal-hal seperti itu, sedangkan Islam sendiri mengakui hak milik pribadi.

Keterkaitan masalah diatas pada era modern ini adalah tentang aturan legitimasi. Franck seorang ahli hubungan internasional mengatakan pada tesisnya bahwa dalam sebuah komunitas yang diatur oleh aturan, kepatuhan didapatkan-apapun tingkatannya-setidaknya sebagian oleh persepsi aturan sebagai sah oleh mereka yang menjadi sasaran aturan. Ia menyajikan teori sebagai teori umum kepatuhan dimana legitimasi adalah faktor penyebab yang penting. Legitimasi aturan memberikan daya tarik kepatuhan pada pemerintah yang menjelaskan tingginya tingkat kepatuhan yang diamati pada hukum internasional.

C.    Kebijakan Diplomasi

Salah satu contoh nyata tindakan diplomasi khalifah Ali bin Abi Thalib yaitu ketika Thalhah dan Zubair meminta kepada Ali agar mengangkatnya sebagai gubernur bashrah dan Kufah, Ali menolak permintaan mereka dengan cara yang sangat halus, dengan alasan bahwa dia sangat membutuhkan sahabat-sahabat senior untuk tetap tinggal dimadinah, sehingga dirinya gampang untuk berkonsultasi dan musyawarah tentang masalah-masalah kenegaraan. Pemikiran Ali hanya terfokus untuk tujuan damai. Ketika kekuatan-kekuatan yang menginginkan untuk balas dendam terhadap kematian Usman bergerak menuju Bashrah dengan Aisyah sebagai pemimpin mereka dan semua orang yang terlibat dalam pembunuhan Usman dibunuh, namun Ali tidak demikian. Ali berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menghabisi suatu suku hanya karena alasan, bahwa salah seorang diantara mereka ada yang melakukan tindakan kriminal.

Untuk menghindari semua pertumpahan darah yang terjadi selama perang Unta, Ali mengutus seorang sahabat terkemuka untuk Aisyah. Kemudian utusan tersebut menghadiri pertemuan dengan Thalhah dan Zubair yang dihadiri oleh Aisyah. Dalam pertemuan tersebut Ali mengutarakan pendapatnya melalui utusan yang telah ia kirim, bahwa obat yang paling mujarab untuk menyudahi keributan ini adalah dengan sikap damai dan solidaritas, dan itu membutuhkan waktu untuk meredam emosi yang sedang bergejolak, baru setelah semuanya damai, maka kemungkinan untuk melakukan pengusutan terhadap kaum pemberontak tersebut bisa dilakukan.

Negosiasi yang dilakukan oleh Ali selalu mengangkat sebuah perdamaian, tindakan Ali ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Rasulullah, Ali memperlakukan siapapun, apapun dia dengan penuh hormat dan sangat sopan santun. Beberapa tindakan negosiasi yang dilakukan oleh Ali terhadap Muawiyah selalu dib alas dengan tindakan yang mengacu pada perang, akan tetapi Ali membantah dengan keras hal tersebut dengan tidak semena-mena mengambil keputusan yang salah.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Sebagai seorang anak didik Rasulullah yang selalu berada disamping beliau, sikap dan moral yang dimiliki oleh Ali terhadap kaum Muslimin mencerminkan kepribadian yang sesuai untuk diangkat sebagai Amirulmukminin. Sifatnya yang Murah hati, lapang dada, tidak pendendam, selalu memelihara tali silaturahmi dan pemaaf, berimbas kepada kebijakan diplomasi yang beliau buat. Semua kebijakan yang dibuat selalu berlandakan atas dasar perdamaian, beliau tidak menginginkan adanya pertumpahan darah diantara kaum muslimin.

Selain itu, menurut Islam adanya legitimasi kepada pemimpin itu sangat diperlukan dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Islam. Hal ini dilakukan untuk lebih leluasanya seorang pimimpin dalam mengatur pemerintahan negaranya.









Daftar Pustaka

Buku:

Audah, Ali. 2008. Ali bin Abi Talib Sampai kepada Hasan dan Husain. Jakarta: PT. pustaka Litera AntarNusa.

Carlsnaes, Walter. Risse, Thomas dan A Simsons, Beth. 2013. Handbook Hubungan Internasional. Bandung: Penerbit Nusa Media.

Iqbal, Afzal. 2000. Diplomasi ISLAM . Jakarta Timur: Pustaka Al kautsar.




No comments:

Post a Comment