Sunday 13 March 2016

Hak Asasi Manusia Internasional dan Nasional

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Dalam perkembangan kehidupan yang berkelanjutan sampai saat ini, banyak pandangan bahwa hak asasi manusia mulai berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Hak asasi manusia yang sebelumnya hanya sebuah tatanan yang beruang lingkup negara tertentu saja, sekarang telah mencapai ruang lingkup internasional. Hak asasi manusia yang secara universal sabagai instrumen yang menjadi cermin bagi norma-norma perilaku manusia yang diakui oleh sebagian besar negara didunia. Asumsi ini yang dijadikan sebagai dasar diterimanya pernyataan hak asasi manusia sedunia pada tahun 1948 oleh suatu badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pembahasan lain yang bersangkutan dengan Hak Asasi Manusia yaitu konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan Genosida 1948, pada pembukaannya konvensi ini menyatakan suatu pengakuan bahwa Genosida merupakan sebuah tindak kejahatan menurut hukum internasional, bertentangan dengan jiwa dan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dimana mengakui martabat yang hakiki dan hak yang sama tanpa diskriminasi, hak tersebut tidak dapat dicabut oleh segenap anggota umat manusia.
Pembahasan makalah ini adalah bagaimana pengimplementasian HAM internasional maupun nasional dan sinkronisasinya, serta pembahasan tentang posisi kenvensi Genosida dalam sistem perlindungan HAM yang berkembang dalam ranah internasional.

Rumusan masalah
1.      Bagaimana implementasi dan sinkronisasi Hak Asasi Manusia internasional dan nasional?
2.      Dimana letak posisi konvensi Genosida dalam sistem perlindungan HAM yang berkembang ditingkat internasional?

BAB II
Pembahasan
A.    Implementasi dan Sinkronisasi Hak Asasi Manusia Internasional dan Nasional
Mempositifkan kaidah-kaidah Hak Asasi Manusia dan mensosialisasikannya kepada masyarakat umum agar masyarakat mengetahui dan berupaya untuk mengembangkan sarana-sarana pendukung agar apa yang terkandung dalam hak asasi manusia dapat ditaati sebagai instrumen perundang-undangan. Hal itu juga diperuntukkan demi membawa dampak pada perundang-undangan hak asasi manusia dapat berlaku secara efektif, dan karena itu diperlukan juga adanya upaya-upaya “pencanangan perundang-undangan hak asasi manusia dengan baik, pelaksanaan dalam menunaikan tugasnya dapat searah dan senafas sesuai dengan bunyi serta penafsiran yang telah disepakati, penegak hak asasi manusia harus menuntut para pelanggarnya” (GG. Howards dan Rummers, 1999: 46-47). Atau dengan kata lain, agar perundang-undangan hak asasi manusia dapat efektif pembuatannya, pelaksanaan dan pemegang perannya harus dalam satu sistem kerja.
Akhir-akhir ini terdapat suatu penilaian dari dunia barat yang seakan-akan pemerintah Indonesia tidak konsekuen melaksanakan hak asasi manusia. Penilaian ini didasarkan pada kacamata hak asasi manusia yang berlaku di barat yang mempunyai sifat individualis dan liberal serta kapitalis, sehingga wajar mereka menilai begitu. Hal yang sedemikian rupa tentu berbeda dengan paradigma pemerintah Indonesia di samping mengakui adanya hak individu, juga mengakui adanya hak-hak kolektif atau umum bahkan hak individu akan dikesampingkan jika dipandang oleh negara memang harus bertindak demikian.
Perbadaan antara negara Barat dan Pemerintah Indonesia tentang hak asasi manusia berkisar pada apakah hak asasi manusia bersifat universal dan mencangkup semuanya berlaku tanpa terkecuali, apakah tidak memperhitungkan budaya yang ada pada masing-masing negara. Disamping itu juga terdapat sudut pandang yang berbeda mengenai prioritas hak-hak yang dimiliki oleh warganya di satu sisi. Negara Barat menekankan pada hak sipil dan politik, sedangkan Indonesia disamping hak-hak tersebut juga dirasa penting melindungi hak ekonomi dan budaya yang saling terikat.
Hubungan antara satu negara dengan negara lain merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Pada era modern ini, negara baratlah yang berada pada posisi yang menentukan, sedangkan negara Indonesia berada pada pihak yang ditentukan. Perbedaan pendapat mengenai hak asasi manusia menjadi menjadi sebuah ketagangan. Namun yang terbaik bagi Indonesia tentu tidak menolak secara menyeluruh terhadap nilai-nilai universal yang tercantum dalam deklarasi hak asasi manusia, tetapi mematuhi standar minimanya saja.
Terdapat berbagai instrumen tentang hak asasi manusia baik tingkat dunia maupun nasional. Sinkronisasi terhadap hak asasi manusia internasional dan nasional dilakukan secara vertical dan horizontal. Secara vertical dilakukan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia universal dengan nilai-nilai hak asasi manusia nasional. Sedangkan sinkronisasi horizontal dilakukan terhadap perundang-undangan yang mempunyai derajat yang sama. Sinkronisasi dan interpretasi sebagaimana tersebut diatas dilakukan terhadap komponen substansi yaitu ketentuan-ketentuan atau nilai-nilai berupa hak. Sinkronisasi dan interpretasi juga dilakukan terhadap komponen kultur yaitu gagasan-gagasan, harapan-harapan dari semua peraturan hak asasi manusia.
Dalam melakukan sinkronisasi dan interpretasi tersebut diperlukan legitimasi dan consensus dari komponen bangsa untuk merumuskan, menjabarkan dan mengintegrasi. Dari upaya ini akan dihasilkan suatu harmonisasi antara nilai hak asasi manusia nasional dengan hak asasi manusia universal. Meskipun sudah diperoleh suatu harmonisasi, namun kinerja dari peraturan hak asasi manusia tergantung pada faktor pembuat hukum, pemegang peran atau masyarakat serta penegak hukum atau birokrat pelaksananya.

B.     Posisi Konvensi Genosida dalam sistem perlindungan HAM pada tingkat internasional
Sejarah singkat mengenai konvensi genosida dimulai dengan pengajuan sebuah proposal yang diajukan oleh Raphael Lemkin yang tertuju kepada konverensi Internasional Unification of Criminal Law yang kelima pada tanggal 1933 mengenai gagasan mengkriminalisasikan genosida mulai dirumuskan secara internasional. Pada konverensi itu, Raphael Lemkin mengajukan agar tindak kriminal yang menghancurkan ras, agama, dinyatakan sebagai kejahatan Internasional. Akan tetapi usulan tersebut tidak membuahkan hasil. Setelah sekian lama, Lemkin yang keluarganya menjadi salah satu korban kekejaman Nazi, menerbitkan sebuah buku yang menitik beratkan tentang masalah Genosida, dan ketika itu pula mulai diperkenalkannya istilah Genosida yang diambil dari kata “genos” yang dalam arti kata yunani berarti ras, bangsa, dan “cide” yang berarti membunuh. Secara istilah yang lebih lengkap, genosida dapat diartikan sebagai tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan.
Pertama kali konsep mengenai genosida diterima pada 8 Oktober 1946, konsep tersebut diterima secara legal formal dalam sebuah dokumen internasional. Pada sela proses pengadilan itu terdapat sejumlah terdakwa yang diduga melakukan genosida. Kemudian pada akhirnya Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi pada tanggal 11 Desember 1946, yang menyatakan bahwa genosida adalah kejahatan dalam hukum internasional. Berdasarkan resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dibentuklah ad hoc committee on Genocide  yang bertugas merumuskan rancangan konvensi Genosida. Hanya dalam waktu 8 bulan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida) diterima oleh Majelis untuk ditandatangani atau diratifikasi. Dan tepatnya, sehari sebelum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights selanjutnya disebut DUHAM) konvensi ini terbuka untuk diratifikasi yang pada 12 Januari 1951 mulai berlaku.   
Pada dasarnya setiap manusia sejak dilahirkan telah memiliki hak masing-masing, dan hal tersebut merupakan kodrat alamiah yang tidak terbantahkan, adapun perlindungan hukum hak asasi manusia internasional yang dimana terlepas dari negara asal, memiliki hak-hak dasar semata-mata karena dia adalah manusia. Hukum hak asasi mannusia internasional juga mengakui dan melindungi hak-hak fundamental individu dari hukum negara dan kekuasaan kedaulatan negara.
Adanya perjanjian-perjanjian yang secara teoritis maupun praktis menjadi sumber bagi sisstem perlindungan hak asasi manusia, semakin berkembangnya pemahaman manusia akan hak-hak setiap manusia yang harus dilindungi dan kesadaran akan tindakan kriminal yang terjadi pada saat itu semakin menguatkan kehendak untuk mencegah terulang kembali pelanggaran hak asasi manusia. Dasar dari perlindungan internasional hak asasi manusia sangat jelas dalam pembukaan Piagam PBB yang menyatakan tujuan adanya PBB: “menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari musibah perang, dan menegaskan kembali keyakinannya pada hak-hak asasi fundamental”, dan berbagai kebijakan internasional lainnya yang membahas tentang pelanggaran hak asasi manusia. Dengan demikian persoalan hak asasi manusia menjadi kepedulian yang sah dari masyarakat internasional dan hukum hak asasi manusia menjadi standar internasional yang mengatur perilaku negara terhadap warga negaranya atau penduduk yang ada didalamnya.
Berlakunya Konvensi Genosida merupakan wujud awal dari gagasan melindungi hak asasi manusia dari kebijakan yang dapat mengancam dunia. Proses integrasi norma-norma hak asasi manusia, yang terumus dalam berbagai perjanjian internasional, ke dalam sistem hukum nasional dilakukan melalui ratifikasi. Konvensi-konvensi hak asasi manusia umumnya mewajibkan negara untuk “menjamin dan melindungi” hak-hak yang ada di dalamnya kepada semua manusia yang berada di bawah yurisdiksi negara bersangkutan. Negara diberi kebebasan untuk memilih sarana dalam melindungi hak asasi manusia warga negaranya, dalam artian hukum hak asasi manusia internasional memungkinkan setiap negara untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia setiap warganya. Mekanisme internasional perlindungan hak asasi manusia memiliki banyak bentuk baik di tingkat dunia maupun regional.
Konvensi Genosida berbeda dengan konvensi-konvensi HAM lainnya, Konvensi Genosida tidak memiliki mekanisme seperti prosedur bagi perorangan maupun organisasi non pemerintah untuk mengajukan pengaduan, pencarian fakta, maupun laporan dari pelopor khusus maupun kelompok kerja. Konvensi Genosida juga tidak memiliki badan pemantau pelaksanaan konvensi sebagai konvensi anti penyiksaan yang memiliki Committee Against Torture yang juga mambantu pengembangan standar melalui resolusi atau keputusan-keputusan lainnya. Akan tetapi negara tidak terlepas dari kewajiban tertentu oleh Konvensi Genosida. Dalam Konvensi Genosida negara memiliki kewajiban yang mutlak dalam menghukum dan mengadili para pelaku yang melanggar konvensi tersebut. Dalam pasal-pasal yang tertera dalam Konvensi Genosida tersebut dicantumkan berbagai peraturan yang membahas persoalan tentang kewajiban negara untuk mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan genosida. Hal ini berarti, Konvensi Genosida merupakan satu dari sedikit konvensi hak asasi manusia yang secara eksplisit mewajibkan negara mengadili dan menghukum pelaku pelanggaran hak asasi manusia.
Tujuan asal dibentuknya Konvensi Genosida oleh PBB adalah sebagai bentuk penghakiman pelaku Genosida, dan merupakan satu dari sejumlah kecil konvensi HAM internasional yang menganggap Genosida sebagai tindakan kriminal terhadap hak asasi manusia.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatasdapat disimpulkan, bahwa agar pelaksanaan hak asasi manusia dapat efektif, perlu adanya peninjauan kembali terhadap komponen substansi dan kultur dengan mengadakan sinkronisasi dan interpretasi terhadap dokumen hak asasi manusia universal dan nasional sehingga ditemukan harmonisasi dari keduanya. Harmonisasi peraturan hak asasi manusia dapat terjadi apabila tercipta suatu gerakan moral antara pembuat undang-undang, pemegang peran dan birokrat pelaksananya.
Konvensi Genosida memaksa individu untuk menghadapi hukuman pidana sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatan Genosida. Disamping itu konvensi meniadakan pilihan pada negara dalam menentukan cara menjamin terlindunginya hak asasi manusia dari tindakan Genosida selain melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran, mengadili  dan menghukum pelaku. Bahkan dapat dikatakan bahwa konvensi Genosida merupakan pengakuan masyarakat internasional yang pertama bahwa tindak Genosida baik di masa damai maupun perang adalah kejahatan yang pelakunya harus dihukum. Sebelum lahirnya konvensi Genosida 1948, dalam hukum internasional hanya kejahatan perang yang mewajibkan negara menghukum pelakunya.




Daftar pustaka
Howard, GG and R.S. Summers. 1999. Law Its Nature And Limits. New Jersey Prestic Hall.

Muladi, H. (2009). HAK ASASI MANUSIA Hakekat, Konsep dan implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat . Bandung: PT Refika Aditama.

Suryono, Hassan. 2002. “Hak Asasi Manusia dalam perspektif Politik Hukum”, Makalah disampaikan dalam kuliah perdana program PPKn FKIP UNS 16 September 2002.

AUSTRALIA, BULGARIA, CAMBODIA, CEYLON, CZECHOSLOVAKIA, etc.

 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. Adopted by the General Assembly of the United Nations on 9 December 1948. Official texts: Chinese, English, French, Russian and Spanish. Registered ex officio on 12 January 1951.

No comments:

Post a Comment