BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Dalam
perkembangan kehidupan yang berkelanjutan sampai saat ini, banyak pandangan
bahwa hak asasi manusia mulai berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Hak
asasi manusia yang sebelumnya hanya sebuah tatanan yang beruang lingkup negara
tertentu saja, sekarang telah mencapai ruang lingkup internasional. Hak asasi
manusia yang secara universal sabagai instrumen yang menjadi cermin bagi
norma-norma perilaku manusia yang diakui oleh sebagian besar negara didunia.
Asumsi ini yang dijadikan sebagai dasar diterimanya pernyataan hak asasi
manusia sedunia pada tahun 1948 oleh suatu badan internasional yaitu
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pembahasan lain
yang bersangkutan dengan Hak Asasi Manusia yaitu konvensi tentang pencegahan
dan penghukuman kejahatan Genosida 1948, pada pembukaannya konvensi ini
menyatakan suatu pengakuan bahwa Genosida merupakan sebuah tindak kejahatan
menurut hukum internasional, bertentangan dengan jiwa dan tujuan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang dimana mengakui martabat yang hakiki dan hak yang sama tanpa
diskriminasi, hak tersebut tidak dapat dicabut oleh segenap anggota umat
manusia.
Pembahasan
makalah ini adalah bagaimana pengimplementasian HAM internasional maupun
nasional dan sinkronisasinya, serta pembahasan tentang posisi kenvensi Genosida
dalam sistem perlindungan HAM yang berkembang dalam ranah internasional.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana implementasi
dan sinkronisasi Hak Asasi Manusia internasional dan nasional?
2.
Dimana letak
posisi konvensi Genosida dalam sistem perlindungan HAM yang berkembang
ditingkat internasional?
BAB II
Pembahasan
A.
Implementasi dan Sinkronisasi Hak Asasi Manusia
Internasional dan Nasional
Mempositifkan
kaidah-kaidah Hak Asasi Manusia dan mensosialisasikannya kepada masyarakat umum
agar masyarakat mengetahui dan berupaya untuk mengembangkan sarana-sarana
pendukung agar apa yang terkandung dalam hak asasi manusia dapat ditaati
sebagai instrumen perundang-undangan. Hal itu juga diperuntukkan demi membawa
dampak pada perundang-undangan hak asasi manusia dapat berlaku secara efektif,
dan karena itu diperlukan juga adanya upaya-upaya “pencanangan
perundang-undangan hak asasi manusia dengan baik, pelaksanaan dalam menunaikan
tugasnya dapat searah dan senafas sesuai dengan bunyi serta penafsiran yang
telah disepakati, penegak hak asasi manusia harus menuntut para pelanggarnya”
(GG. Howards dan Rummers, 1999: 46-47). Atau dengan kata lain, agar
perundang-undangan hak asasi manusia dapat efektif pembuatannya, pelaksanaan
dan pemegang perannya harus dalam satu sistem kerja.
Akhir-akhir ini
terdapat suatu penilaian dari dunia barat yang seakan-akan pemerintah Indonesia
tidak konsekuen melaksanakan hak asasi manusia. Penilaian ini didasarkan pada
kacamata hak asasi manusia yang berlaku di barat yang mempunyai sifat
individualis dan liberal serta kapitalis, sehingga wajar mereka menilai begitu.
Hal yang sedemikian rupa tentu berbeda dengan paradigma pemerintah Indonesia di
samping mengakui adanya hak individu, juga mengakui adanya hak-hak kolektif
atau umum bahkan hak individu akan dikesampingkan jika dipandang oleh negara
memang harus bertindak demikian.
Perbadaan antara
negara Barat dan Pemerintah Indonesia tentang hak asasi manusia berkisar pada
apakah hak asasi manusia bersifat universal dan mencangkup semuanya berlaku
tanpa terkecuali, apakah tidak memperhitungkan budaya yang ada pada
masing-masing negara. Disamping itu juga terdapat sudut pandang yang berbeda
mengenai prioritas hak-hak yang dimiliki oleh warganya di satu sisi. Negara
Barat menekankan pada hak sipil dan politik, sedangkan Indonesia disamping
hak-hak tersebut juga dirasa penting melindungi hak ekonomi dan budaya yang
saling terikat.
Hubungan antara
satu negara dengan negara lain merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Pada
era modern ini, negara baratlah yang berada pada posisi yang menentukan,
sedangkan negara Indonesia berada pada pihak yang ditentukan. Perbedaan
pendapat mengenai hak asasi manusia menjadi menjadi sebuah ketagangan. Namun
yang terbaik bagi Indonesia tentu tidak menolak secara menyeluruh terhadap
nilai-nilai universal yang tercantum dalam deklarasi hak asasi manusia, tetapi
mematuhi standar minimanya saja.
Terdapat
berbagai instrumen tentang hak asasi manusia baik tingkat dunia maupun
nasional. Sinkronisasi terhadap hak asasi manusia internasional dan nasional
dilakukan secara vertical dan horizontal. Secara vertical dilakukan terhadap
nilai-nilai hak asasi manusia universal dengan nilai-nilai hak asasi manusia nasional.
Sedangkan sinkronisasi horizontal dilakukan terhadap perundang-undangan yang
mempunyai derajat yang sama. Sinkronisasi dan interpretasi sebagaimana tersebut
diatas dilakukan terhadap komponen substansi yaitu ketentuan-ketentuan atau
nilai-nilai berupa hak. Sinkronisasi dan interpretasi juga dilakukan terhadap
komponen kultur yaitu gagasan-gagasan, harapan-harapan dari semua peraturan hak
asasi manusia.
Dalam melakukan
sinkronisasi dan interpretasi tersebut diperlukan legitimasi dan consensus dari
komponen bangsa untuk merumuskan, menjabarkan dan mengintegrasi. Dari upaya ini
akan dihasilkan suatu harmonisasi antara nilai hak asasi manusia nasional
dengan hak asasi manusia universal. Meskipun sudah diperoleh suatu harmonisasi,
namun kinerja dari peraturan hak asasi manusia tergantung pada faktor pembuat
hukum, pemegang peran atau masyarakat serta penegak hukum atau birokrat
pelaksananya.
B.
Posisi Konvensi Genosida dalam sistem perlindungan
HAM pada tingkat internasional
Sejarah singkat
mengenai konvensi genosida dimulai dengan pengajuan sebuah proposal yang
diajukan oleh Raphael Lemkin yang tertuju kepada konverensi Internasional
Unification of Criminal Law yang kelima pada tanggal 1933 mengenai gagasan
mengkriminalisasikan genosida mulai dirumuskan secara internasional. Pada
konverensi itu, Raphael Lemkin mengajukan agar tindak kriminal yang
menghancurkan ras, agama, dinyatakan sebagai kejahatan Internasional. Akan
tetapi usulan tersebut tidak membuahkan hasil. Setelah sekian lama, Lemkin yang
keluarganya menjadi salah satu korban kekejaman Nazi, menerbitkan sebuah buku
yang menitik beratkan tentang masalah Genosida, dan ketika itu pula mulai
diperkenalkannya istilah Genosida yang diambil dari kata “genos” yang dalam arti
kata yunani berarti ras, bangsa, dan “cide” yang berarti membunuh. Secara
istilah yang lebih lengkap, genosida dapat diartikan sebagai tindakan terencana
yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau
kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi
anggota kelompok bersangkutan.
Pertama kali
konsep mengenai genosida diterima pada 8 Oktober 1946, konsep tersebut diterima
secara legal formal dalam sebuah dokumen internasional. Pada sela proses
pengadilan itu terdapat sejumlah terdakwa yang diduga melakukan genosida.
Kemudian pada akhirnya Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi pada tanggal 11
Desember 1946, yang menyatakan bahwa genosida adalah kejahatan dalam hukum
internasional. Berdasarkan resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dibentuklah ad
hoc committee on Genocide yang bertugas merumuskan rancangan konvensi
Genosida. Hanya dalam waktu 8 bulan Konvensi tentang Pencegahan dan
Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida) diterima oleh Majelis untuk
ditandatangani atau diratifikasi. Dan tepatnya, sehari sebelum Deklarasi Umum
Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights selanjutnya disebut
DUHAM) konvensi ini terbuka untuk diratifikasi yang pada 12 Januari 1951 mulai
berlaku.
Pada dasarnya
setiap manusia sejak dilahirkan telah memiliki hak masing-masing, dan hal
tersebut merupakan kodrat alamiah yang tidak terbantahkan, adapun perlindungan
hukum hak asasi manusia internasional yang dimana terlepas dari negara asal,
memiliki hak-hak dasar semata-mata karena dia adalah manusia. Hukum hak asasi
mannusia internasional juga mengakui dan melindungi hak-hak fundamental
individu dari hukum negara dan kekuasaan kedaulatan negara.
Adanya
perjanjian-perjanjian yang secara teoritis maupun praktis menjadi sumber bagi
sisstem perlindungan hak asasi manusia, semakin berkembangnya pemahaman manusia
akan hak-hak setiap manusia yang harus dilindungi dan kesadaran akan tindakan
kriminal yang terjadi pada saat itu semakin menguatkan kehendak untuk mencegah
terulang kembali pelanggaran hak asasi manusia. Dasar dari perlindungan
internasional hak asasi manusia sangat jelas dalam pembukaan Piagam PBB yang
menyatakan tujuan adanya PBB: “menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang
dari musibah perang, dan menegaskan kembali keyakinannya pada hak-hak asasi fundamental”, dan berbagai
kebijakan internasional lainnya yang membahas tentang pelanggaran hak asasi
manusia. Dengan demikian persoalan hak asasi manusia menjadi kepedulian yang
sah dari masyarakat internasional dan hukum hak asasi manusia menjadi standar
internasional yang mengatur perilaku negara terhadap warga negaranya atau
penduduk yang ada didalamnya.
Berlakunya
Konvensi Genosida merupakan wujud awal dari gagasan melindungi hak asasi
manusia dari kebijakan yang dapat mengancam dunia. Proses integrasi norma-norma
hak asasi manusia, yang terumus dalam berbagai perjanjian internasional, ke
dalam sistem hukum nasional dilakukan melalui
ratifikasi. Konvensi-konvensi hak asasi manusia umumnya mewajibkan negara
untuk “menjamin dan melindungi” hak-hak yang ada di dalamnya kepada semua
manusia yang berada di bawah yurisdiksi negara bersangkutan. Negara diberi kebebasan
untuk memilih sarana dalam melindungi hak asasi manusia warga negaranya, dalam
artian hukum hak asasi manusia internasional memungkinkan setiap negara untuk
menjamin perlindungan hak asasi manusia setiap warganya. Mekanisme
internasional perlindungan hak asasi manusia memiliki banyak bentuk baik di
tingkat dunia maupun regional.
Konvensi
Genosida berbeda dengan konvensi-konvensi HAM lainnya, Konvensi Genosida tidak
memiliki mekanisme seperti prosedur bagi perorangan maupun organisasi non
pemerintah untuk mengajukan pengaduan, pencarian fakta, maupun laporan dari
pelopor khusus maupun kelompok kerja. Konvensi Genosida juga tidak memiliki
badan pemantau pelaksanaan konvensi sebagai konvensi anti penyiksaan yang
memiliki Committee Against Torture yang juga mambantu pengembangan standar
melalui resolusi atau keputusan-keputusan lainnya. Akan tetapi negara tidak
terlepas dari kewajiban tertentu oleh Konvensi Genosida. Dalam Konvensi
Genosida negara memiliki kewajiban yang mutlak dalam menghukum dan mengadili
para pelaku yang melanggar konvensi tersebut. Dalam pasal-pasal yang tertera
dalam Konvensi Genosida tersebut dicantumkan berbagai peraturan yang membahas
persoalan tentang kewajiban negara untuk mengadili dan menghukum para pelaku
kejahatan genosida. Hal ini berarti, Konvensi Genosida merupakan satu dari
sedikit konvensi hak asasi manusia yang secara eksplisit mewajibkan negara
mengadili dan menghukum pelaku pelanggaran hak asasi manusia.
Tujuan asal
dibentuknya Konvensi Genosida oleh PBB adalah sebagai bentuk penghakiman pelaku
Genosida, dan merupakan satu dari sejumlah kecil konvensi HAM internasional
yang menganggap Genosida sebagai tindakan kriminal terhadap hak asasi manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan diatasdapat disimpulkan, bahwa agar pelaksanaan hak asasi manusia
dapat efektif, perlu adanya peninjauan kembali terhadap komponen substansi dan
kultur dengan mengadakan sinkronisasi dan interpretasi terhadap dokumen hak
asasi manusia universal dan nasional sehingga ditemukan harmonisasi dari
keduanya. Harmonisasi peraturan hak asasi manusia dapat terjadi apabila
tercipta suatu gerakan moral antara pembuat undang-undang, pemegang peran dan
birokrat pelaksananya.
Konvensi
Genosida memaksa individu untuk menghadapi hukuman pidana sebagai bentuk
tanggung jawab atas perbuatan Genosida. Disamping itu konvensi meniadakan
pilihan pada negara dalam menentukan cara menjamin terlindunginya hak asasi
manusia dari tindakan Genosida selain melakukan penyelidikan atas dugaan
terjadinya pelanggaran, mengadili dan menghukum pelaku. Bahkan dapat
dikatakan bahwa konvensi Genosida merupakan pengakuan masyarakat internasional
yang pertama bahwa tindak Genosida baik di masa damai maupun perang adalah
kejahatan yang pelakunya harus dihukum. Sebelum lahirnya konvensi Genosida
1948, dalam hukum internasional hanya kejahatan perang yang mewajibkan negara
menghukum pelakunya.
Daftar pustaka
Howard,
GG and R.S. Summers. 1999. Law Its Nature
And Limits. New Jersey Prestic Hall.
Muladi, H. (2009). HAK ASASI MANUSIA Hakekat,
Konsep dan implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat . Bandung:
PT Refika Aditama.
Suryono,
Hassan. 2002. “Hak Asasi Manusia dalam
perspektif Politik Hukum”, Makalah disampaikan dalam kuliah perdana program
PPKn FKIP UNS 16 September 2002.
AUSTRALIA,
BULGARIA, CAMBODIA, CEYLON, CZECHOSLOVAKIA, etc.
Convention on the Prevention and
Punishment of the Crime of Genocide. Adopted by the General Assembly of the
United Nations on 9 December 1948. Official texts: Chinese, English, French,
Russian and Spanish. Registered ex officio on 12 January 1951.
No comments:
Post a Comment